Pos

ANTARANEWS: KH Zaini Mun’im, Pejuang dan Pendiri Ponpes Nurul Jadid

Probolinggo (ANTARA) – Mandat ulama adalah pewaris nabi dalam menyebarkan firman-firman Ilahi yang tertulis maupun yang tak tertulis. Sebagai pewaris nabi, ulama tak cukup hanya berjuang melalui mimbar-mimbar khutbah, melainkan pula harus memiliki sikap berani melakukan perubahan dan pembaruan demi mewujudkan cita-cita ideal dari Nabi Muhammad Saw, yaitu menjadikan umat yang paripurna.

KH. Zaini Mun’im, selain dikenal sebagai figur alim, juga kisah perjuangannya dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Ulama ini merupakan sosok yang berani memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, sehingga mampu mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Kiai Zaini Mun’im adalah arketipe ulama yang tidak hanya menerjemahkan Islam dalam spektrum ubudiyah, melainkan menjadi realitas di kehidupan.

Kiai Zaini lahir tahun 1906 di Desa Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura, dari pasangan KH Abd Mun’im dan Nyai Hamidah. Dari garis keturunan ayahnya, Zaini merupakan keturunan raja Sumenep yang silsilahnya sampai kepada Sunan Kudus. Sementara dari garis ibu, ia adalah keturunan dari raja-raha Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bergelar Raden yang sangat disegani di Madura.

Jejak Kiai Zaini mendirikan pesantren menunjukkan bahwa spirit juang beliau dalam mendobrak kohesi sosial yang awalnya jauh menyimpang dari ajaran suci (sesat), kemudian mampu menggiring masyarakat menjadi kaum agamis yang dekat dengan nilai-nilai Ilahi.

Namanya perjuangan, tentu tidak mudah. Saat mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Kiai zaini harus berjuang menghadapi berbagai ancaman dari binatang buas dan orang yang tidak sudi atas kehadirannya. Namun tak ada rasa getir sedikit pun di hatinya. Perjungannya berhadapan dengan sistem sosial yang kala itu masih porak poranda. Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, yang kini menjadi markas Ponpes Nurul Jadid, zaman dulu tidak seperti saat ini.

Pada masa itu, sebelum bernama Karanganyar, desa ini dikenal dengan sebutan Tanjung. Nama yang diambil dari sebuah pohon besar yang berdiri di tengah-tengah desa. Masyarakat setempat menganggap pohon tersebut mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak sedikit dari masyarakat setempat menjadikan pohon tanjung itu sebagai sesembahan, yang pada akhirnya tanjung diabadikan sebagai nama desa.

Pada mulanya, desa kecil yang terletak di pesisir di Kecamatan Paiton ini, sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Sebab, salah satunya banyak binatang buas yang mendiami desa ini. Di sisi lain, kehidupan penduduk desa juga sangat memperihatinkan. Mereka menganut animisme dan dinamisme yang ditandai dengan keberadaan beberapa pohon besar yang tidak boleh ditebang karena diyakini sebagai pelindung mereka.

Upaca ritual dalam bentuk pemberian sesajen merupakan hal lazim saat itu, utamanya di momen-momen tertentu, seperti hajatan dan ketika musim tanam tiba. Konon, sesajen tersebut dipersembahkan kepada roh yang diyakni berada di sekitar pohon besar dengan memiliki kekuatan yang di luar nalar manusia. Beberapa masyarakat melakukan upacara ritual dengan meletakkan ayam di setiap titik yang dianggap sakral. Selain itu, setiap tahun, mereka mengadakan selamatan laut dengan melarung kepala kerbau.

Dalam pergaulan masyarakatnya, marak sekali terjadi perjudian, perampokan, pencurian dan tempat pekerja seks komersial (PSK). Kehidupannya cenderung hedonis, dalam keyakinan mereka, kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat dalam perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran. Kepedulian masyarakat terhadap alam sebagai sumber kehidupannya pun sangat memprihatinkan. Dengan demikian, waktu itu Karanganyar dicap sebagai desa mati.

Di tengah situasi dan kondisi sosial masyarakat yang demikian, KH. Zaini Mun’im, setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo) memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarga di desa itu.

Dengan berbekal satu batang lidi, beliau berjalan menelusuti tanah yang sudah menjadi miliknya. Binatang buas yang mendiami tanah tersebut lari menuju utara desa, yaitu di daerah Grinting. Kurang lebih satu tahun beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan mengubah hutan menjadi tegalan.

Awalnya, kedatangan Kiai Zaini Mun’im ke Desa Karanganyar bukan bermaksud untuk mendirikan pondok pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Sejatinya, beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta bergabung dengan teman-teman seperjuangannya.

Cita-cita Kiai Zaini untuk menyiarkan agama Islam, kala itu melalui Departemen Agama (Depag) tidak tersampaikan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, ada dua orang santri (Syafi’uddin dan Saifuddin) yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama.

Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itu beliau menetap bersama kedua santrinya.

Seiring waktu, suarau kecil milik Kiai Zaini terus berkembang. Santri beliau terus bertambah. Pendidikan dan bimbingan yang beliau berikan tidak sebatas di lingkungan pesantren saja, namun berhasil membawa perubahan budaya dan kondisi masyarakat Desa Karanganyar menjadi kawasan dengan tatanan sosial yang tertata lebih baik.

Kini Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah memiliki belasan ribu santri dari berbagai segala penjuru negeri, bahkan dari mancanegara. Sang pendobrak kesesatan yang bernama Kiai Zaini Mun’im telah lama berpelukan dengan kekasih-Nya. Kiai Zaini wafat pada 26 Juli 1976, namun semangatnya sebagai mujaddid dan mujahid terus mengalir pada santri-santrinya.

*) Penulis: Ahmad Zainul Khofi merupakan mahasiswa semester VI Universitas Nurul Jadid (Unuja) Paiton, Probolinggo, Jatim, dan pegiat literasi

ANTARANEWS: Kiai Zaini Mun’im dan Kesadaran Masa Depan Indonesia

Probolinggo (ANTARA) – Mungkin terlalu berlebihan kalau mengatakan bahwa Madura merupakan pulau keramat yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa. Banyak ulama-ulama Nusantara yang menimba ilmu di pulau itu, tepatnya ke Kiai Kholil Bangkalan.

Moqsith Gazali pernah menyampaikan bahwa tidak terlalu banyak orang yang belajar pada Kiai Kholil, kecuali hanya sekitar 25 orang. Daari 25 orang itu kemudian menjadi ulama yang mengasuh pondok pesantren besar di Indonesia, salah satunya adalah Kiai Haji Zaini Mun’im.

Kiai Zaini adalah ulama yang memiliki kesadaran masa depan. Tak banyak ulama pesantren yang memiliki pandangan masa depan terhadap keberdaan bangsa Indonesia dan dunia.

Sebagian dari mereka bisa di kata hanya fokus memikirkan berkait masa depan pesantren dan santri-santrinya. Karena itu Kiai Zaini terus mendidik dan menjaga eksistensi pesantrennya dari ancaman-ancaman budaya-budaya yang akan mengikis warisan luhur yang menjadi ciri khas pesantren. Bisa dikatan ia lebih memilih bertahan daripada menyerang.

KH. Zaini Mun’im adalah ulama asal daerah Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura yang juga pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Dalam kisahnya, Kiai Zaini seorang yang tak lelah memikirkan nasib bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman kolonialisme yang terus menyerang terhadap anak bangsa.

Kegelisahan kiai Zaini muda terus menghantui perjalanan hidupnya. Diskusi dan perbincangannya berkait perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia menjadi topik obrolannya saban waktu dengan tokoh lainnya.

Meskipun dirinya lahir dari rahim pesantren yang juga dididik oleh pendidikan pesantren, namun semangat nasionalismenya terpatri sangat kuat. Kiai Zaini muda penuh dengan gagasan berkait kemerdekaan Indonesia, dan kebangkitannya melawan penjajah yang “menghegemoni” kekayaan dan kemerdekaan anak bangsa Indonesia.

Perlawanan demi perlawanan ia lakukan hingga pada akhirnya Belanda mencium keberanian Kiai Zaini dan penjajah dari Negeri Kincir Angin itu ingin membumihanguskan Kiai Zaini dengan segala upaya dan kebiadabannya.

Kepergiannya dari Pamekasan menuju Pulau Jawa sebagai bukti bahwa Kiai Zaini dikejar-kejar oleh Belanda untuk dibungkam agar tidak melawan dan supaya dapat memuluskan cita-cita biadab Belanda untuk menguasai Bumi Nusantara ini. Tipikal Kiai Zaini bukan seorang pengecut dan penakut, sehingga semangatnya tidak kendor saat mendengar ancaman demi ancaman dari kaum penjajah.

Kiai Zaini seorang ulama pemberani dan pejuang yang merelakan hidupnya untuk berjuang menegakkan kebenaran meski nyawa menjadi taruhannya. Ada ungkapan yang membakar semangat anak bangsa dan membuktikan bahwa dirinya seorang nasionalis yang hebat, yaitu “Orang yang tinggal di Indonesia dan tidak berjuang ia telah melakukan perbuatan maksiat”.

Pernyataan ini sebagai bukti bahwa Kiai Zaini bukan tipe orang yang berpangku tangan melihat ketidakadilan di masyarakat. Semangat totalitas dalam memperjuangkan tanah kelahiran dari “kebiadaban” penjajah telah menjadi saksi sejarah dalam perjalanan hidupnya.

Sahdan, semangat berjuang yang dimiliki Kiai Zaini bukan tanpa dasar. Dengan kealimannya, semua tindakannya selalu berdasar pada ilmu, yaitu dalam agama Islam mencintai negara itu bagian dari iman. Keimanan ini yang mendorong Kiai Zaini untuk terus bergerak, berjuang demi kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Bertauhid yang benar tidak cukup hanya meyakini dalam hati dan mengikrarkan melalui lisan, tapi harus terimplimentasikan melalui perbuatan. Keimanan yang hanya cukup berada dalam kepercayaan tanpa amal, ibarat pohon yang tidak berbuah.

Dorongan tauhid pada pergerakan dan perlawanan Kiai Zaini tergambar melalui perjuangannya, baik melalui politik, pendidikan, sosial, dan aktivitas kemasyarakatan.

Meskipun kini Kiai Zaini telah menghadap Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim, jejak juangnya terus berdenyut di Bumi Indonesia bersama dengan melajunya Pondok Pesantren Nurul Jadid yang didirikannya. Pondok yang terus berkarya dan berbakti pada agama, bangsa dan negara. Di sini lahir para pejuang Islam yang melanjutkan cita-cita luhur kiai Zaini.

Pondok Pesantren Nurul Jadid yang menjadi kawah candradimuka generasi muda Muslim, terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa mengorbankan karakternya sebagai lembaga pendidikan, dakwah, kader dan sosial.

Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren ini berkontribusi banyak pada penyediaan SDM bekualitas untuk ikut berpartisipasi mewujudkan pesantren dan Indonesia yang lebih unggul dan berkualitas.

Pesantren ini membentuk pondasi yang kuat bagi para santri melalui trilogi dan panca kesadaran sebagai prinsip dasar dalam menciptakan, mendidik dan mengkader agar lahir manusia yang utuh dan paripurna.

 

*) Ponirin Mika adalah Ketua Lakpesdam Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Paiton dan anggota Community of Critical Social Research

Pewarta: Ponirin Mika*)
Editor : Masuki M. Astro

KH Zaini Mun’im, pejuang dan pendiri Ponpes Nurul Jadid

Probolinggo (ANTARA) – Mandat ulama adalah pewaris nabi dalam menyebarkan firman-firman Ilahi yang tertulis maupun yang tak tertulis. Sebagai pewaris nabi, ulama tak cukup hanya berjuang melalui mimbar-mimbar khutbah, melainkan pula harus memiliki sikap berani melakukan perubahan dan pembaruan demi mewujudkan cita-cita ideal dari Nabi Muhammad Saw, yaitu menjadikan umat yang paripurna.

KH. Zaini Mun’im, selain dikenal sebagai figur alim, juga kisah perjuangannya dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Ulama ini merupakan sosok yang berani memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, sehingga mampu mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Kiai Zaini Mun’im adalah arketipe ulama yang tidak hanya menerjemahkan Islam dalam spektrum ubudiyah, melainkan menjadi realitas di kehidupan.

Kiai Zaini lahir tahun 1906 di Desa Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura, dari pasangan KH Abd Mun’im dan Nyai Hamidah. Dari garis keturunan ayahnya, Zaini merupakan keturunan raja Sumenep yang silsilahnya sampai kepada Sunan Kudus. Sementara dari garis ibu, ia adalah keturunan dari raja-raha Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bergelar Raden yang sangat disegani di Madura.

Jejak Kiai Zaini mendirikan pesantren menunjukkan bahwa spirit juang beliau dalam mendobrak kohesi sosial yang awalnya jauh menyimpang dari ajaran suci (sesat), kemudian mampu menggiring masyarakat menjadi kaum agamis yang dekat dengan nilai-nilai Ilahi.

Namanya perjuangan, tentu tidak mudah. Saat mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Kiai zaini harus berjuang menghadapi berbagai ancaman dari binatang buas dan orang yang tidak sudi atas kehadirannya. Namun tak ada rasa getir sedikit pun di hatinya. Perjungannya berhadapan dengan sistem sosial yang kala itu masih porak poranda. Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, yang kini menjadi markas Ponpes Nurul Jadid, zaman dulu tidak seperti saat ini.

Pada masa itu, sebelum bernama Karanganyar, desa ini dikenal dengan sebutan Tanjung. Nama yang diambil dari sebuah pohon besar yang berdiri di tengah-tengah desa. Masyarakat setempat menganggap pohon tersebut mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak sedikit dari masyarakat setempat menjadikan pohon tanjung itu sebagai sesembahan, yang pada akhirnya tanjung diabadikan sebagai nama desa.

Pada mulanya, desa kecil yang terletak di pesisir di Kecamatan Paiton ini, sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Sebab, salah satunya banyak binatang buas yang mendiami desa ini. Di sisi lain, kehidupan penduduk desa juga sangat memperihatinkan. Mereka menganut animisme dan dinamisme yang ditandai dengan keberadaan beberapa pohon besar yang tidak boleh ditebang karena diyakini sebagai pelindung mereka.

Upaca ritual dalam bentuk pemberian sesajen merupakan hal lazim saat itu, utamanya di momen-momen tertentu, seperti hajatan dan ketika musim tanam tiba. Konon, sesajen tersebut dipersembahkan kepada roh yang diyakni berada di sekitar pohon besar dengan memiliki kekuatan yang di luar nalar manusia. Beberapa masyarakat melakukan upacara ritual dengan meletakkan ayam di setiap titik yang dianggap sakral. Selain itu, setiap tahun, mereka mengadakan selamatan laut dengan melarung kepala kerbau.

Dalam pergaulan masyarakatnya, marak sekali terjadi perjudian, perampokan, pencurian dan tempat pekerja seks komersial (PSK). Kehidupannya cenderung hedonis, dalam keyakinan mereka, kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat dalam perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran. Kepedulian masyarakat terhadap alam sebagai sumber kehidupannya pun sangat memprihatinkan. Dengan demikian, waktu itu Karanganyar dicap sebagai desa mati.

Di tengah situasi dan kondisi sosial masyarakat yang demikian, KH. Zaini Mun’im, setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo) memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarga di desa itu.

Dengan berbekal satu batang lidi, beliau berjalan menelusuti tanah yang sudah menjadi miliknya. Binatang buas yang mendiami tanah tersebut lari menuju utara desa, yaitu di daerah Grinting. Kurang lebih satu tahun beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan mengubah hutan menjadi tegalan.

Awalnya, kedatangan Kiai Zaini Mun’im ke Desa Karanganyar bukan bermaksud untuk mendirikan pondok pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Sejatinya, beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta bergabung dengan teman-teman seperjuangannya.

Cita-cita Kiai Zaini untuk menyiarkan agama Islam, kala itu melalui Departemen Agama (Depag) tidak tersampaikan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, ada dua orang santri (Syafi’uddin dan Saifuddin) yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama.

Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itu beliau menetap bersama kedua santrinya.

Seiring waktu, suarau kecil milik Kiai Zaini terus berkembang. Santri beliau terus bertambah. Pendidikan dan bimbingan yang beliau berikan tidak sebatas di lingkungan pesantren saja, namun berhasil membawa perubahan budaya dan kondisi masyarakat Desa Karanganyar menjadi kawasan dengan tatanan sosial yang tertata lebih baik.

Kini Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah memiliki belasan ribu santri dari berbagai segala penjuru negeri, bahkan dari mancanegara. Sang pendobrak kesesatan yang bernama Kiai Zaini Mun’im telah lama berpelukan dengan kekasih-Nya. Kiai Zaini wafat pada 26 Juli 1976, namun semangatnya sebagai mujaddid dan mujahid terus mengalir pada santri-santrinya.

Penulis: Ahmad Zainul Khofi
*) Artikel sebelumnya telah dimuat di AntaraNews

Mengenal Forum Komunikasi Santri, Spirit Kiai Zaini Mun’im Merekatkan Santri dan Masyarakat

“Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang memikirkan masalah ekonominya sendiri saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita harus memikirkan perjuangan rakyat banyak,” – KH. Zaini Mun’im

nuruljadid.net – Kebiasaan yang ada setiap malam libur kegiatan pesantren (malam Selasa dan Jum’at) di Pondok Pesantren Nurul Jadid, santri beramai-ramai berkerumun di pojok-pojok pesantren, mereka bersua dengan santri dari masing-masing daerah asal dalam wadah Forum Komunikasi Santri (FKS)—momen itu biasanya terjadi menjelang liburan panjang pesantren seperti libur maulid dan libur ramadan. Dalam forum itu, santri membahas giat-giat sosial-keagamaan yang menjadi program perekat antara dirinya dan masyarakat.

FKS menjadi salah satu organisasi yang dinilai memiliki andil sangat besar bagi Pondok Pesantren Nurul Jadid serta memiliki akses terhadap masyarakat. Saya rasa, menjadi hal yang menarik membahas FKS, baik dari asal-muasal, tujuan, hingga tantangan yang dihadapi.

Epistemologi FKS

Berdirinya organisasi bernama Forum Komunikasi Santri (FKS), berangkat dari visi-misi penggerak dan pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Zaini Mun’im, dengan semboyan yang lumrah dikenal dikalangan warga pesantren. Diskursus “saya tidak rela kalau santri saya tidak berjuang di masyarakat” menjadi ruh utama hadirnya FKS sebagai wadah santri untuk menjalankan tugas “berguna bagi masyarakat” melalui kegiatan berbasis sosial-keagamaan.

Kemudian, diskursus itu terinternalisasi pada rumusan Panca Kesadaran Santri Nurul Jadid, tepatnya pada sila ke-3 yang berbunyi “Kesadaran Bermasyarakat” dan sila ke-5 “Kesadaran Berorganisasi”, kedua sila yang menghidupkan makna eksistensi organisasi FKS.

Berangkat dari dua sila inilah motor penggerak organisasi FKS yang menerima cahaya penerang jalan menuju dua arah objektif fungsionalnya, yaitu sebagai fungsi pengkaderan, media mempererat silaturahmi antar santri (sila ke-5); dan fungsi sebagai corong pengabdian santri di lingkungan masyarakat (sila ke-3).

Secara struktural FKS berada di bawah koordinasi Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), khususnya di Seksi Organisasi Satuan dan Organisasi Daerah (Orsat-Orda) Pondok Pesantren Nurul Jadid. Satuan kerja inilah yang mengorganisir arah haluan organisasi FKS.

Benang Merah FKS

Ihwal berorganisasi, “permasalahan” sebuah niscaya menjadi makanan empuk sehari-hari dalam menempa proses pendewasaan diri dan mematangkan sebuah organisasi. Begitupula yang dihadapi oleh organisasi yang bernama FKS. Saya mencoba menarik benang merah dalam aporia kedua objektif-fungsional FKS tersebut, dalam penemuan praktisnya, sejumlah FKS melewatkan hingga melazimkan (disfungsi) yang seharusnya menjadi tonggak awal terbentuknya forum yang diidamkan ini, yaitu sinergitas organisasi: menyambung dan memperkuat keeratan tali persaudaraan antar santri. Menurut saya, hal ini tak luput dari bias yang berserakan oleh kepentingan yang bersifat seremonial yang ditengarahi lebih penting daripada membangun tubuh organisasi yang ideal.

Merespon hal itu, BPPM mengambil langkah taktis untuk mengembalikan cita-cita dan arah tujuan awal terbentuknya organisasi FKS. Langkah itu sebagai pemutus mata rantai agar FKS tidak disebut sebagai organisasi yang implisit-objektif. Disamping itu, BPPM berupaya memperluas makna kegiatan FKS yang bermula sebagai organisasi pragmatis menjadi organisasi yang dapat memberikan output berdampak universal bagi sendi-sendi kehidupan yang berkamajuan dan berkelanjutan.

Seiring perjalanan forum tersebut, haruslah menjadi wadah santri untuk membangun dan membumikan nilai “Kesadaran Bermasyarakat dan Berorganisasi”; dalam mewujudkan dawuh Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid. Seyogyanya FKS harus terus diasah dan diolah melalui program evaluasi dan peremajaan Sumber Daya Manusia agar FKS kembali ke habitatnya sebagai organisasi penyambung lidah pesantren dan masyarakat untuk mewujudkan mimpi idealnya, yaitu menjadikan indonesia cakrawala dunia.

 

Oleh: Ahmad Zainul Khofi