Pos

Gus Fayyadl Usul Darud Difan sebagai Konstribusi Menyusun Konsep Negara Suaka

nuruljadid.net – Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid K. Muhammad Al-Fayyadl mengusulkan Darud Difan sebagai kontribusi untuk menyusun konsep negara suaka, hal tersebut menjadi perbincangan dalam acara Halaqoh Fikih Peradaban di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid pada Ahad (2/10) siang.

“Mungkin apa bisa darud difan ini dijadikan kontribusi untuk menyusun konsep negara suaka?”, tanya Gus Fayyadl.

Usulan ini berangkat dari fakta geopolitik yang desawa kini sangat rentan pada terjadinya pengusiran umat manusia. Beliau memberikan contoh beberapa tahun lalu saat tragedi rohingya, umat muslim yang ada di daerah bangladesh, india, dan pakistan terusir dari negaranya.

“Hal ini sampai sekarang belum bisa diatasi oleh konsep negara bangsa yang ada, kenapa? Karena negara bangsa yang ada saat ini sangatlah ekslusif, bisa dibilang untuk masuk ke sebuah teritory harus butuh pasport dan visa. Bagaimana dengan warga negara yang tidak punya pasport dan visa, apakah dihukumi sebagai bughat,” dawuh beliau.

(Potret suasana Halaqoh Fikih Peradaban di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Dalam konteks tersebut, Kyai Muhammad Al-Fayyadl mengusulkan agar kita bisa memahami tatanan dunia hari ini sebagai darud da’wah. Lalu beliau menjelaskan bahwa darud da’wah dibagi menjadi dua, yaitu darud to’at dan darul ma’ashih wal fusuk wal dzulmi. Jadi yang ada sekarang bukanlah kekafiran ansih, tetapi sebenarnya ekspresi paling luar dari kekafiran itu adalah al ma’asi, wal fusuk, wal dzulmi, al jaur atau kesewenang-wenangan.

“Sehingga dari konsepsi seperti ini sebenarnya yang ada mungkin sekarang itu semua negara hari ini adalah darud dakwah bagi umat islam,” imbuhnya.

Memperkuat dasar pemikirannya, beliau juga mengangkat cerita sahabat rasul yang menjadi salah satu al-‘asyaratu al-mubasysyaruna bil jannati atau sepuluh sahabat nabi yang dijamin masuk surga, beliau adalah Abdurrahman bin Auf. Dalam sejarah diceritakan, beliau adalah orang pertama yang rumahnya menjadi tempat kedatangan utusan-utusan nabi bahkan tamu-tamu nabi yang berasal dari luar negeri, sehingga rumah beliau disebut sebagai darud difan.

“Bahkan rumah dari Abdurrahman bin Auf ini juga disebut addarul kubro. Karena saking luasnya, karena beliau kaya raya, rumahnya yang besar itu banyak menerima tamu delegasi dari negara-negara lain yang itu insyaallah rata-rata non-muslim atau musyrik. Jadi kami tertarik, mungkin apa bisa darud difan ini dijadikan kontribusi untuk menyusun konsep negara suaka?,” jelas Gus Fayyadl.

Selain itu, beliau juga mengusulkan bahwa tujuan negara sebenarnya yang telah dimukakan oleh KH. Afifudin Muhajir bisa ditingkatkan pada tataran global, artinya bagaimana Fikih Maqosid yang telah menjadi acuan kita di dalam bermuamalah hari ini bisa ditingkatkan ke dalam tataran global.

“Sebagai contoh, kami mengusulkan adanya istilah hifdzul bi’ah atau menjaga lingkungan yang dimaknai disini hifdzul balad atau hifdzul wathon sebagai salah satu maqosid syariah di dalam konteks tatanan dunia baru, kenapa? Karena semua an nafs, ad din, al mal, an nasl itu tidak akan berguna ketika sebuah negara diinvasi dan dikoloni, maka hifdzul balad, meski itu balad yang mayoritasnya ada kafir, karena dia potensi menjadi darud dakwah maka sangat mungkin untuk dimasukkan kedalam kriteria maqosdu syariah yang baru,” pungkas beliau.

 

 

(Humas Infokom)

Gus Fayyadl Jabarkan Enam Sistem Tatanan Dunia Baru Perspektif Geopolitik

nuruljadid.net – Narasi “Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru” Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid Kyai Muhammad Al-Fayyadl membahas terkait Fikih Siyasah merupakan hasil dari tatanan dunia yang berkembang pada masanya. Dengan itu, beliau mengatakan bahwa topik pembahasan Halaqah Fikih Peradaban yang diadakan di Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah masuk pada perbincangan mengenai maddatul hadorohnya atau materi peradabannya.

Ungkapan itu disampaikan oleh Gus Fayyadl saat menjadi pemateri dalam acara Halaqah Fikih Peradaban menyambut hari lahir 1 Abad Nahdlatul Ulama’ (NU) pada Ahad (2/10) siang.

Lebih lanjut beliau mengkhulasohi atau mereview sub materi Tatanan Dunia Baru yang kompleks dan memiliki cakupan sangat luas. Beliau menyebutkan ada enam segmentasi tatanan dunia baru secara geopolitik yang mencirikan kehidupan peradaban manusia dari waktu ke waktu.

“Secara geopolitik, peradaban dunia itu ada enam sistem. Fase pertama, peradaban suku (Tribal Societies – Mujtama’ Al Qabailiyah) ini yang diisyaratkan dalam kitab suci al-quran ‘inna khalaqnakum syu ubawwaqaba ila’, jadi peradaban suku ini sangat kental jika kita melihat dalam sejarah islam fase awal.”

Kemudian disusul dengan tatanan dunia yang kedua atau fase kedua, yaitu lompatan dari peradaban suku kepada peradaban imperium (Imperial Societies – Mujtama’ Dauliyah). Dalam fase ini, dimana saat itu di zaman Nabi Muhammad SAW ada dua imperium besar, yaitu Romawi dan Persi. Secara umum, terdapat ciri-ciri kehidupan politik dalam kitab-kitab Fikih Siyasah kita, karena di peradaban ini muncul konsep-konsep yang sangat berpengaruh bahkan di dalam praktik, misalnya dalam konsep jihad.

“Yaitu adanya konsep dan praktik futuh (penaklukan) jangan dibayangkan ini penaklukan militer, tapi lebih tepat pada pendirian masyarakat Islami dengan tatanan politik tertentu, yang seringkali juga terkadang melalui proses perdamaian, seperti Fathu Mekkah itu sendiri. Peradaban imperium ini berlangsung sangat lama,” imbuh beliau.

(Potret K. Muhammad Al-Fayyadl sedang memberikan pemaparan materi tentang Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru)

Dilanjukan dengan fase ketiga dan keempat, dimana tatanan dunia memasuki Era Kolonialisme dan Imperialisme (Colonial Estates – Isti’mariyah)  termasuk berkembangnya faham-faham wathoniyah. Era kolonialisme ini melahirkan Era Negara Bangsa (Nation State), dan kita sedang berada di dalamnya.

Fase kelima yaitu tatanan Global Order. Istilah ini sangat kental dengan nuansa perang dingin, bisa dibilang pada era ini muncul blok-blok, misalnya blok barat dan blok timur, yang diistilahkan dengan Musyarokah Syiasiah.

Kemudian selanjutnya, fase keenam adalah Global Governance atau Global Transnational Governance. Fase ini merupakan yang terkini dan paling kontemporer berupa pengaturan dunia melalui skema-skema dan desain politik, ekonomi, dan bidang lainnya yang berbasis kepentingan oleh beragam aktor, baik sipil, militer, swasta, dan negara.

“Secara umum, ini yang menjadi awal pentingnya kita berpikir mengenai fikih siyasah ini. Karena secara umum fikih siyasah yang dipakai di kalangan kita itu merupakan produk era keemasan imperium Islam, atau daulah-daulah islamiyah, dan fikih ini terus relevan dipakai sampai di era kolonialisme,” pungkas beliau.

 

 

(Humas Infokom)

Gus Fayyadl Ungkap Fikih Adalah Bahasa Santri Menyapa Pergaulan Global

nuruljadid.net – Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo menjadi tuan rumah Halaqah Fikih Peradaban pada hari Ahad (2/10). Acara tersebut menghadirkan empat narasumber dari kalangan Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) diantaranya Wakil Rais Aam PBNU KH. Afifuddin Muhajir; Ketua Lakpesdam PBNU KH. Ulil Abshar Abdalla; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya KH. Moh. Syaeful Bahar; Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid Kiai Muhammad Al-Fayyadl.

Dalam kesempatan tersebut, keempat narasumber mengupas tuntas materi yang bertajuk “Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru”. Forum halaqah tersebut dimoderatori oleh Ahmad Sahidah, Ph.D. dan memberikan waktu sekitar 20 menit kepada setiap narasumber untuk memaparkan materi yang telah masing-masing persiapkan.

(Gus Fayyadl  (kiri) sedang memaparkan materi bersama para pemateri di depan peserta halaqoh)

Di sisi lain, Mudir Mahad Aly Nurul Jadid Kiai Muhammad Al-Fayyadl membuka sesi diskusinya dengan mengungkapkan bahwa dewasa kini sangat terasa betapa gagapnya masyarakat pesantren terhadap isu-isu global yang marak dan semakin masuk ke ruang-ruang kehidupan.

“Kita memang sekian lama hidup di dalam lingkungan-lingkungan yang lokal atau regional, dan alhamdulillah dengan Islam Nusantara setidaknya sudah me-nasional, dan sekarang sudah meng-global atau go international,” tuturnya.

Di kesempatan yang sama, kiai muda intelektual yang kerap disapa Gus Fayyadl ini menanggapi dengan hadirnya fenomena tersebut dalam kehidupan masyarakat pesantren, santri harus mempelajari satu perangkat keilmuan, yaitu fikih. Karena menurut beliau, Fikih adalah software santri dalam menyapa pergaulan global.

“Satu perangkat keilmuan yang mau tidak mau harus dipelajari adalah fikih, karena fikih ini adalah software kita, bahasa kita sebagai kaum santri di dalam menyapa pergaulan global tadi,” dawuh Gus Fayyadl.

Beliau juga mengulas fikih siasah dari relevansinya, ia menjelaskan bahwa fikih siasah merupakan hasil dari tatanan dunia yang berkembang pada masanya.

 

(Humas Infokom)

KH. Moh. Zuhri Zaini: Halaqah Fikih Peradaban Bukan Hanya Silaturahim Biasa

nuruljadid.net – Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Moh. Zuhri Zaini mengungkapkan bahwa hadirnya Halaqah Fikih Peradaban ini bukan hanya silaturahim biasa atau ketemu muwajahah, tapi juga ada silatul afkar yaitu sambung pikiran dan pemahaman.

Memaknai hal tersebut, Kiai Zuhri berharap kita bisa saling menghargai jika terdapat perbedaan pendapat. Karena menurutnya, hidup ini tidak akan pernah selalu sama, jadi dengan adanya perbedaan pendapat asalkan disikapi dengan benar yaitu saling menerima dan saling mengisi, insyallah akan menjadi hikmah.

Hal ini disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Moh. Zuhri Zaini melalui sambutannya pada acara Halaqah Fikih Peradaban dalam rangka memperingati Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid, Ahad (2/10/2022).

(Potret suasana Halaqoh Fikih Peradaban di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Kiai yang akrab disapa dengan Kiai Zuhri ini melanjutkan, hadirnya Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Nurul Jadid merupakan obat rindu kami terhadap kegiatan-kegiatan NU yang sering diadakan beberapa tahun lalu.

“Adanya Halaqah Fikih Peradaban ini menghidupkan kembali sunnah-sunnah NU yang sudah kurang begitu diperhatikan, sebab masa yang lalu kita sering ketemu melalui kegiatan-kegiatan seperti ini. Saya mewakili pesantren sebagai shohibul bait, merasa mendapat kehormatan ditempati kegiatan ini, sebab sudah lama saya merindukan adanya kegiatan-kegiatan seperti ini,” ungkap Kiai Zuhri.

Kiai Zuhri berharap halaqah ini bisa membuahkan sesuatu yang konkrit, ada tindak lanjut, dan menjadi ruang bagi kita agar bisa saling mengenal satu sama lain, bukan hanya pribadinya tetapi juga pemikiran dan pemahamannya.

“Harapan kita adalah silaturahim ini sekalipun mungkin belum membuahkan sesuatu yang konkrit tapi mudah-mudahan ada tindak lanjut, tapi andaikan tidak, sudah bersyukur bisa ketemu seperti ini, sebab ketemu-ketemu sekarang ini sangat mahal, bukan mahal ongkosnya, tapi karena kesibukan kita masing-masing, ya mungkin ini adalah tanda sudah mendekatnya kiamat, katanya semakin dekat kiamat, kesibukan semakin banyak sehingga silaturrahim sulit untuk dilaksanakan,” dawuh Pengasuh.

Beliau juga mengucapkan terima kasih atas rawuhnya para masyayikh dan telah menjadikan Pondok Pesantren Nurul Jadid sebagai salah satu titik tempat digelarnya Halaqah Fikih Peradaban.

“Dan mohon untuk tidak kapok lagi untuk rawuh kesini dan mengadakan kegiatan disini, kami sangat terbuka, sangat welcome dengan kehadiran dan hadirnya kegiatan halaqoh disini,” dawuh pengasuh menutup sesi sambutannya.

 

(Humas Infokom)